Oleh : M. Redha Helmi
Sekretaris Umum KAMMI Daerah Kepulauan Riau
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti bermanfaat. Dengan ditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum jahit. Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya 23 tusukan per menit (Qardhawi, 1997). dunia hanya perlu waktu beberapa menit saja untuk mengetahui kabar pendaratan Neil Amstrong di bulan (Winarno), orang naik haji dengan kapal laut bisa memakan waktu 17-20 hari untuk sampai Jeddah. Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam
Subhanallah…
Tapi di sisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Elizabetta, seorang bayi Italia, lahir dari rahim bibinya setelah dua tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal. Ovum dan sperma orang tuanya yang asli, ternyata disimpan di “bank” dan kemudian baru dititipkan pada bibinya, Elenna adik (Kompas, 16/01/1995). Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal sperma dan ovumnya bukan dari suami isteri (Hadipermono, 1995). dapat digunakan untuk mengubah mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya mengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam beberapa menit saja (Bakry, 1996). Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. tidak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, perjudian.
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk dilihat kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin? Sejauh manakah agama Islam dapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern? Tulisan ini bertujuan menjelaskan peran dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi tersebut.
Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan
tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga)
jenis paradigma (Lihat Yahya Farghal, 1990: 99-119):
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang iptek adalah
terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama
telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al tidak dinafikan
eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam pribadi manusia dengan
tuhannya. Agama tidak mengatur umum/publik. Paradigma ini memandang
agama dan iptek mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan
iptek sama terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian
atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara
memperoleh dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan
pengetahuan). Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di
Barat sebagai jalan keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya
teks Bible) dengan
penemuan ilmu pengetahuan modern.
Kedua,
paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme menafikan
eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, hubungan dan kaitan
apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas
secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di
atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi
secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, hanya dibatasi
perannya dalam hubungan vertikal manusia dalam paradigma sosialis,
agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan
dibuang sama sekali dari kehidupan. Paradigma tersebut didasarkan pada
pikiran Karl Marx (w. 1883) yang memandang agama (Kristen) sebagai candu
masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan
penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan:
“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the
heartless just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the
opium of the people.
(Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat).
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma
yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah
Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang
terwujud dalam apa dalam al-Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah
fikriyah pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh
bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini kita pahami
dari ayat yang pertama kali turun (artinya) : “Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu Yang menciptakan. [96]: 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81). paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah segera menjelaskan: “Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya Bukhari dan an-Nasa`i] (Al-Baghdadi, 1996: 10).
Dengan
jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah sebagai
dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam
adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya
dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera
dalam al-Qur`an:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190).
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 – 1400 M. Pada masa dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al (858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk, 1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoelhi, 2003).
Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek
Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw. Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat ini, Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan keimanan muslim.
Jadi, yang dimaksud menjadikan Aqidah
Islam sebagai landasan bukanlah bahwa konsep iptek wajib bersumber
kepada al-Qur’an dan al- Hadits, tapi yang dimaksud, bahwa iptek wajib
berstandar pada al qur’an dan al-Hadits. Ringkasnya, al-Qur`an dan
al-Hadits adalah standar (dan bukannya sumber (mashdar) iptek. Artinya,
apa pun konsep iptek dikembangkan, harus sesuai dengan al-Qur`an dan
al-Hadits, dan tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits itu.
Jika suatu konsep bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Hadits, maka
konsep itu ditolak. Misalnya saja Teori Darwin yang menyatakan bahwa
manusia adalah hasil evolusi dari organisme sederhana yang selama jutaan
tahun berevolusi melalui seleksi alam menjadi organisme yang lebih
kompleks hingga menjadi manusia modern sekarang. Berarti, manusia
sekarang bukan
manusia pertama, Nabi Adam AS, tapi hasil dari evolusi organisme
sederhana. Ini bertentangan dengan firman Allah SWT yang menegaskan,
Adam adalah manusia pertama, dan bahwa seluruh manusia sekarang adalah
keturunan Adam AS itu, bukan keturunan makhluk lainnya sebagaimana
fantasi Teori Darwin (Zallum, 2001). Firman Allah SWT:
“(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian
menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (mani).”
[32]: 7).
Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambil iptek dari sumber kaum non muslim (orang kafir). Dulu Nabi Saw penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal tradisi kaum Persia yang beragama Majusi
Syariah Islam Standar Pemanfaatan Iptek
Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah harus
dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal hukum syariah
Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan bagaimana pun juga
bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah telah dihalalkan oleh
syariah Islam. Sedangkan iptek yang dimanfaatkan, adalah yang telah
diharamkan syariah Islam. Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan
pada banyak ayat dan juga hadits yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan
perbuatannya (termasuk menggunakan iptek) dengan ketentuan hukum Allah
dan Rasul firman Allah:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…” (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa
peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua).
Pertama, menjadikan Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu
pengetahuan. Jadi, paradigm Islam, dan bukannya paradigma sekuler, yang
seharusnya diambil oleh Islam dalam membangun struktur ilmu pengetahuan.
Kedua syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah
Islam bukannya standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya
dijadikan ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek. Jika dua peran
ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, insyaallah akan ada
berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat
manusia.
Mari kita simak firman-Nya:
“Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. al-A’raaf [7]: 96).
Wallahu a’lam.