Batam Pos
Rabu, 18 Pebruari 2009
Oleh : M. REDHA HELMI
Sekretaris Umum KAMMI Daerah Kepulauan Riau
Dalam Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 diungkapkan, yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU RI No 20 Tahun 2003).
Dari definisi pendidikan tersebut, dengan jelas terungkap bahwa pendidikan indonesia adalah pendidikan yang usaha sadar dan terencana, untuk mengembangkan potensi individu demi tercapainya kesejahteraan pribadi, masyarakat dan negara. Ada banyak permasalahan yang timbul dari UU ini. Benarkah kita telah menyelenggarakan pendidikan? Lantas, bagaimana menjelaskan tindakan premanisme, korup, asusila, dan tindakan amoral dan melanggar hukum lainnya yang justru dilakukan oleh orang-orang terdidik dan dari institusi-institusi dan lembaga terhormat di negeri kita? Di mana letak kesalahan pendidikan selama ini?
Dalam menyikapi realitas pendidikan sebagaimana disinggung, menarik untuk dikaji pula sebuah sikap setengah hati bangsa kita. Di tengah konsensus bahwa sumber krisis berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia adalah krisis moral, tapi krisis ini tak kunjung usai. Di saat seluruh masyarakat dunia sibuk dengan krisis global, kita pun ikut membicarakannya. Padahal ada krisis moral yang lebih parah lagi imbasnya yang bisa menjadi bom waktu bagi bangsa ini yang akan meledak dalam waktu tertentu Belum lama ini wajah pendidikan Indonesia kembali tercorengkan oleh komponen pendidikan itu sendiri.
Ada kasus seorang remaja yang menggadaikan harga diri untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sekolah. Ada kasus seorang wakil kepala sekolah yang melakukan pelecehan terhadap siswanya, padahal seorang guru yang seharusnya menjadi teladan, memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap muridnya, malah membuat onar dengan melakukan hal yang tidak pantas dilakukan.
Semua ini terjadi di dunia pendidikan kita. Di sisi lain, ada sebuah klinik dokter yang menjadi tempat aborsi. Telah banyak janin yang tak berdosa dibunuh. Bahkan Indoneisa menjadi negara yang paling banyak melakukan aborsi. Sangat ironis sekali jika kita lihat, klinik yang seharusnya menjadi tempat untuk menyelamatkan nyawa menjadi tempat pembunuhan dan yang lebih menyakitkan hati lagi hal ini dilakukan oleh dokter yang notabene sebagai orang terdidik, yang telah menghabiskan uang puluhan juta ketika menempuh pendidikannya. Jika kita kembali melihat fenomena ini, ada banyak penyebab yang melatarbelakangi terjadinya segala tindakan amoral pada pendidikan kita sehigga krisis moral ini terus berlanjut.
Pertama, di dalam dunia pendidikan kita sekolah yang favorit adalah sekolah yang dapat menghasilkan kelulusan para peserta didiknya dengan nilai yang tinggi, nilai yang lebih berdasarkan pada intelegensi semata. Sehingga guru dan siswa berpacu untuk menjadi yang terbaik dengan lebih mengutamakan IQ semata. Tanpa disadari ternyata hal ini menjadi salah satu penyebab krisis moral yang melanda pendidikan kita.
Karena sekolah-sekolah lebih mengutamakan kelulusan dengan nilai tinggi namun dari sisi spiritualnya tidak begitu diperhatikan. Padahal jika kita bercermin kembali pada UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana di atas, kita akan melihat bahwa tujuan pendidikan itu adalah pembinaan dengan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan.
Jika kita ambil perbandingan maka terlihat jelas bahwa pendidikan kita yang sebenarnya adalah lebih berorientasi pada pembentukan akhlak dan moral. Kedua, internalisasi nilai-nilai agama yang kurang dilakukan oleh para guru dan civitas akademika serta kurangnya keteladanan dari para pendidik. Seorang guru yang yang baik adalah pendidik yang digugu dan ditiru oleh para peserta didik. Guru seharusnya memberikan contoh baik kepada para peserta didiknya, bukan malah sebaliknya memberikan contoh yang buruk. Bagaimana mungkin para siswa akan terdidik dengan baik jika pendidiknya tidak memiliki akhlak yang baik. Bak kata pepatah ”guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Proses pendidikan yang dilakukan saat ini hanya berkutat pada masalah pengajaran, bukan pendidikan moral Ketiga, profesionalisme guru. Guru adalah kompenen yang penting yang menentukan arah pendidikan, profesionalisme guru sangat dibutuhkan dalam melaksanakan tujuan pendidikan.
Seorang guru bukan hanya seorang pengajar yang hanya mengajarkan materi sesuai kurikulum, namun dia harus mendidik para peserta didik dengan nilai-nilai keimanan dan moral yang baik sehingga tujuan pendidikan itu terlaksana dengan baik, tapi kenyataan yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Sebagian kecil guru hanya melaksanakan tugasnya sebatas mengajar materi sesuai kurikulum saja.
Sementara didikan moral serta pembinaan sangat kurang sekali. Inilah yang menjadi pemicu kerusakan moral di dunia pendidikan kita. Untuk itu hendaknya ada uji kompetensi yang dilakukan agar tujuan pendidikan kita bisa terlaksana. Keempat, titel dan gelar menjadi target, sehingga tanggung jawab ilmiah terabaikan. Hal ini banyak terjadi di daerah-daerah dan kampus-kampus.
Sebagian besar mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi banyak yang hanya ingin mengambil gelar dan titel bahkan ada yang malakukan berbagai cara, untuk mendapatkan gelar tersebut. Apa yang akan kita katakan tentang hal ini? Apakan ini sebuah kemajuan bagi pendidikan kita? Tentunya ini adalah kemunduran bagi kita dan krisis moral di dunia pendidikan kita. Ini adalah sebagian penyebab krisis moral yang terjadi di dunia pendidikan kita. Masih banyak lagi penyebab lain yang membuat moral pendidikan kita menjadi hancur. Kembali penulis ingatkan bahwa apapun yang terjadi pada dunia pendidikan kita adalah tanggung jawab kita semua.
Segala krisis moral yang melanda pendidikan kita tidak akan pernah berakhir jika semua permasalahan di atas tidak segera kita selesaikan. Perangkat pendidikan seperti guru, lembaga pendidikan dan lingkungan keluarga adalah faktor yang mempengaruhi segala prilaku manusia yang membentuk watak manusia. Krisis ini akan berakhir dengan kerjasama antara guru, keluarga dan pemerintah jika memang berkomitmen kuat untuk memperbaiki pendidikan kita. Sebanyak apapun anggaran pendidikan yang diberikan pemerintah, jika tidak ada kerjasama yang baik dari pihak sekolah, keluarga dan pemerintah, maka hanya sebuah mimpi saja pendidikan kita akan maju. Wallahu a’lam bissawab. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar